Sunday, March 18, 2012

Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cianjur, Jawa Barat

Amin Mudzakkir

Jatuhnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 telah mengubah relasi-relasi kekuasaan dalam kancah politik Indonesia. Salah satu penanda dari perubahan tersebut adalah terbukanya ruang publik bagi aspirasi warga negara yang ingin menunjukan identitas politiknya berdasarkan alasan-alasan primordial. Selama masa Orde Baru, identitas primordial adalah isu yang dibungkus rapi dalam sebuah kategori bernama SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Kategori tersebut dikontrol oleh aparat negara agar tidak mengancam otoritas kekuasaan politik yang sedang  berkuasa. Wacana tentang identitas primordial di luar batas-batas yang telah dtentukan oleh negara akan segera dicurigai sebagai ancaman terhadap stabilitas.
            Akan tetapi, kategori bernama SARA tersebut sekarang bagaikan kotak pandora yang terbuka. Fragmentasi kekuatan-kekuatan politik pasca Orde baru sebagian besar justru didasarkan pada alasan-alasan identitas primordial. Dalam konteks ini, Islam muncul sebagai referensi identitas bagi pembentukan relasi-relasi kekuasaan yang baru. Sekarang wacana tentang keterlibatan Islam dalam ruang publik Indoneia telah meluas, tidak hanya pada tingkat gagasan, tetapi juga pada tingkat aksi. Selain itu, karena adanya kebijakan desentralisasi yang pada masa-masa awal ditandai dengan keluarnya UU No. 22 dan 25/1999, perubahan relasi-relasi kekuasaan yang melibatkan Islam sebagai sebuah kategori identitas tidak hanya berlangsung di pusat, tetapi justru lebih semarak di daerah.
            Contoh paling jelas dari perubahan tersebut adalah munculnya fenomena perda (peraturan daerah) yang berbasis syariah. Selain diwarnai dengan perdebatan pada tingkat gagasan tentang apa yang dimaksud dengan perda syariah, isu tersebut pada praktik yang lebih luas telah menuai kontroversi. Bagi para pendukungnya, perda syariah dipandang sebagai solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat yang dipandang sedang berada dalam krisis. Sementara bagi para pengkritiknya, perda syariah adalah bentuk dari komodifikasi agama dalam kancah politik. Kalangan yang disebut terakhir berargumentasi dengan menunjukan beberapa konvergensi, baik dalam pengertian waktu maupun pola-pola kecenderungan, antara wacana perda syariah dan momen-momen yang melibatkan kepentingan politik, misalnya pilkada (pemilihan kepala daerah langsung).
            Pada sisi lain, kaum minoritas keagamaan adalah kelompok yang sering terpinggirkan dari arus besar perubahan relasi-relasi kekuasaan pasca Orde Baru. Mengikuti argumentasi sebelumnya, kondisi ini tidak hanya terjadi di pusat, tetapi justru lebih semarak di daerah. Hal ini terkait juga dengan kebijakan desentralisasi dan fenomena perda berbasis syariah di beberapa daerah. Contoh menarik bisa dilihat di Cianjur. Daerah ini pernah menjadi buah bibir dalam perbincangan publik karena adanya usaha Bupati Cianjur pada 2001 untuk mempraktikkan apa yang disebut ‘Gerbang Marhamah’ (gerakan pembangunan masyarakat berakhlakul karimah). Oleh sebagian orang, usaha bupati tersebut dipandang sebagai bagian dari perda yang berbasis syariah. Di tempat lain, para pendukungnya menolak pandangan tersebut. Di antara dua pandangan tersebut, kaum minoritas keagamaan di Cianjur merasa bahwa praktik Gerbang Marhamah berdampak negatif terhadap keberadaan mereka.
            Kaum minoritas keagamaan di Cianjur yang merasa mendapatkan perlakuan diskriminatif pasca ‘Gerbang Marhamah’ adalah anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)—untuk selanjutnya disebut kaum Ahmadi. Perlakuan diskriminatif tersebut datang dari kaum mayoritas keagamaan yang menolak keberadaan mereka. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Cianjur, tetapi juga di beberapa tempat lain di Indonesia. Hal ini, salah satunya, terkait dengan adanya keputusan Munas MUI No. 05/Kep/Munas/MUI/1980 yang dikuatkan dengan keputusan MUI No.11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang sesatnya aliran Ahmadiyah Qadiyan. Akan tetapi, dalam konteks yang lebih luas, sebuah fatwa  hanya akan bekerja dalam sebuah situasi yang mendukung kepentingan dari fatwa tersebut. Tulisan ini akan menunjukan situasi yang membuat fatwa-fatwa keagamaan bekerja, salah satunya adalah momen-momen politik lokal yang menjadi ajang perebutan kontrol terhadap sumberdaya ekonomi politik dalam sebuah masa transisi politik Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru.

Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru di Tingkat Lokal
Dinamika Islam politik adalah bagian dari menguatnya sentimen politik identitas dalam konteks transisi politik Indonesia pasca Orde Baru. Pada tingkat lokal, dinamika tersebut  terlihat dengan jelas dalam pertarungan kepemimpinan elit politik. Di Cianjur, setelah berakhirnya masa jabatan Harkat Handiamihardja pada 2001, Wasidi Swastomo tampil sebagai bupati yang baru. Masih pada tahun yang sama, Wasidi dengan segera mengkampanyekan apa yang disebut Gerbang Marhamah (gerakan pembangunan masyarakat berakhlakul karimah). Dalam sebuah konteks transisi politik Indonesia pasca Orde Baru yang membingungkan, kebutuhan akan sebuah kepastian identitas yang sifatnya moral tampak menemukan tempatnya. Begitulah Gerbang Marhamah yang seiring waktu semakin menemukan tempatnya di tengah kehidupan masyarakat. Contohnya terlihat dalam acara Ikrar Bersama Umat Islam Kabupaten Cianjur pada tanggal 1 Muharram 1422 H/ 26 Maret 2001. Acara tersebut berisi dukungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cianjur terhadap Gerbang Marhamah. Akhirnya, gagasan tersebut disepakati sebagai renstra (rencana strategis) yang dijadikan pedoman resmi bagi pemerintah kabupaten Cianjur dalam penegakan aturan-aturan sosial kemasyarakatan yang ‘Islami’ di Cianjur. Sebelum itu, Wasidi bahkan telah membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) melalui SK Bupati Cianjur No. 34/2001. Lembaga ini mempunyai kewenangan penuh untuk menerjemahkan gagasan Gerbang Marhamah ke dalam seperangkat aturan teknis yang akan dijadikan acuan bagi pemda dan kalangan DPRD dalam proses legislasi. Meski demikian, para penganjur gagasan ini mengatakan bahwa Gerbang Marhamah sama sekali tidak mempunyai agenda untuk menjadikan Islam sebagai sumber hukum yang resmi. Mereka tetap berpandangan bahwa gagasan ini hanya ingin membenahi akhlak masyarakat Cianjur yang telah tercemari pengaruh-pengaruh dari luar yang merusak (Turmudzi, 2003).
Tanggapan masyarakat Cianjur terhadap Gerbang Marhamah sangat kompleks, tergantung pada pengaruh yang ditimbulkan dari, atau keterlibatan dalam, pelaksanaan kebijakan tersebut terhadap keberadaan kelompok masing-masing. Akan tetapi, sebagian besar tanggapan tersebut terkait dengan figur Wasidi sendiri. Dengan kata lain, kebijakan Gerbang Marhamah sebenarnya telah mengalami personifikasi pada seorang figur yang bernama Wasidi. Hal ini bisa terlihat dari beberapa kebijakan yang secara jelas merepresentasikan kepentingan Wasidi secara pribadi. Contoh yang paling kontroversial adalah pelarangan terhadap pertunjukan kuda kosong dan ziarah kubur ke makam leluhur di Cikundul, sebuah daerah di Cianjur. Pemda secara kelembagaan tidak pernah memberi penjelasan mengenai alasan pelarangan tersebut. Menanggapi isu ini, seorang tokoh seniman Cianjur berpendapat bahwa hal tersebut sepenuhnya merupakan otoritas Wasidi. Tokoh seniman tersebut lebih lanjut menceritakan afiliasi keagamaan Wasidi. Menurutnya, sebagian besar gagasan keagamaan Wasidi dipengaruhi gurunya, Kyai Dadun Kohar, seorang tokoh Persis (Persatuan Islam) di Sukabumi. Kyai Dadun Kohar dikenal sebagai seorang yang keras menolak praktik-praktik tradisi, seperti ziarah kubur dan ritual kuda kosong, yang dianggapnya tidak sesuai dengan syariat Islam. Di kalangan Persis sendiri, Kyai Dadun dianggap terlalu keras dalam perpendapat, sehingga tidak memcerminkan pandangan umum Persis (Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006)
Terkait dengan afiliasi keagamaan Wasidi, yang menarik untuk dilihat adalah kenyataan bahwa dukungan politik terhadap dirinya justru datang dari beberapa tokoh ulama NU terkemuka di Cianjur, padahal NU dikenal sebagai organisasi Islam yang teguh memelihara tradisi. Salah satu tokoh tersebut adalah KH. R. Abdul Halim. Selain dikenal sebagai tokoh sepuh NU dan pengasuh salah satu pondok pesantren paling berpengaruh di Cianjur, KH R Abdul Halim adalah Ketua Umum MUI Cianjur selama kurang lebih 25 tahun terakhir ini. Selama masa kepemimpinan Wasidi, dia selalu memerankan diri sebagai pendukung kebijakan pemerintah. Dia sangat concern dengan Gerbang Marhamah, karena selain alasan yang sifatnya normatif, praktik Gerbang Marhamah pada kenyataannya memberi kontribusi ekonomis bagi MUI. Selain KH. R. Abdul Halim ada juga  figur KH Abdul Qadir Razy. Dia adalah salah seorang Rais Syuriah NU Cabang Cianjur dan anggota DPRD dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Menjelang masa kampanye Pilkada Cianjur 2006, KH Abdul Razi dan KH R Abdul Halim adalah sebagian dari juru kampanye untuk Wasidi yang paling bersemangat.
Dukungan politik beberapa kyai NU terhadap kepemimpinan Wasidi ternyata tidak mengikuti pemahaman mainstream yang memetakan organisasi-organisasi Islam ke dalam kategori tradisionalis vis-a-vis modernis (Noer, 1996; Alfian, 1989; Federspiel, 1996, 2004). Perubahan relasi-relasi kekuasaan telah membuat kategori tersebut hanya berlaku pada sebuah konteks tertentu, tetapi tidak berlaku untuk konteks yang lain. Terutama dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, pilihan-pilihan politik seringkali didasarkan oleh kepentingan-kepentingan yang sama sekali tidak terkait dengan latar ideologis. Akan tetapi, pilihan-pilihan politik yang muncul bukan berarti hanya didasarkan pada alasan-alasan pragmatis belaka, sebab kenyataannya pilihan-pilihan politik merupakan praktik diskursif yang melekat pada interpretasi terus menerus terhadap konsepsi ideologi dalam sebuah rentang sejarah yang terus berubah. Tradisi politik NU dalam sejarah politik Indonesia sering dipahami dengan kerangka berpikir tersebut, sehingga apa yang terjadi di Cianjur dan mungkin juga di kota-kota lain bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan. Inilah yang oleh Greg Fealy (2003) sebagai ‘ijtihad politik ulama’ yang bisa menjelaskan sejarah keterlibatan ulama NU dalam politik Indonesia.
Relasi antara alasan-alasan ideologi dan alasan-alasan praktis bertemu dalam momen pilkada. Dari sisi aktor, pilkada adalah representasi dari pertarungan kepemimpinan elit dalam memperebutkan kontrol terhadap sumberdaya ekonomi politik. Hal ini menjadi fakto penting dalam usaha untuk memobilisasi pengaruh pada tingkat akar rumput. Khusus untuk Cianjur, pilkada adalah momen untuk melihat sampai sejauh mana praktik Gerbang Marhamah masih mendapat tempat dalam kehidupan politik masyarakat Cianjur. Dalam konteks ini pula, diskusi mengenai kekerasan terhadap kaum Ahmadi dapat dipahami. Terlepas dari siapa yang mengkomodifikasi isu Ahmadiyah ke dalam ajang pertarungan politik, yang jelas beberapa perstiwa kekerasan yang menimpa kaum Ahmadi di Cianjur ternyata berkonvergensi dengan momen pilkada. Konvergensi itu tidak hanya menyangkut soal waktu, tetapi juga menyangkut wacana Islam politik yang menjadi latar situasi dari momen politik tersebut.

Kekerasan terhadap Kaum Ahmadi
Dinamika Islam politik tidak bisa dipisahkan dari kepentingan-kepentingan elit yang mendominasi wacana tersebut. Di Cianjur, peran Wasidi yang didukung oleh sebagian kalangan tokoh kyai tertentu sangat mempengaruhi bagaimana ‘Islam’ didefinisikan dalam kehidupan politik. Secara konkrit definisi tersebut direpresentasikan dalam bentuk kebijakan Gerbang Marhamah. Pada saat yang sama, dinamika Islam di tingkat yang lebih luas sedang berubah seiring dengan perubahan-perubahan politik pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Salah satu contohnya adalah peningkatan pengaruh lembaga-lembaga otoritas resmi keagamaan dalam kebijakan-kebijakan negara dan opini-opini publik. Terkait dengan isu Ahmadiyah, fatwa MUI No.11/MUNAS VII/MUI/15/2005 ternyata berpengaruh luas terhadap kelompok minoritas keagamaan itu. Fatwa yang berisi kesesatan Ahmadiyah ditanggapi publik seolah seperti hukum positif. Hal ini merupakan salah satu fenomena Orde Baru, yaitu kaburnya batas-batas antara ruang privat dan ruang publik.
            Kenyataan normatif bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berdasar Pancasila kehilangan legitimasinya di tengah meningkatnya ketidapercayaan publik terhadap aparat negara pasca Orde Baru. Secara konstitusional, misalnya, negara berkewajiban melindungi warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Dalam pengertian ini, kaum Ahmadi jelas mempunyai hak dilindungi oleh negara dari ancaman kalangan yang menolak keberadaan mereka. Akan tetapi kenyataan berbicara lain. Fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah ditanggapi dengan tuntutan sebagian ummat Islam Indonesia untuk melarang kegiatan Ahmadiyah. Tuntutan tersebut pada akhirnya berbuah kekerasan. Kaum Ahmadi di beberapa kota diteror, bahkan di Cianjur fasilitas ibadah dan rumah-rumah mereka dibakar dan dihancurkan.
Kekerasan yang menimpa kaum Ahmadi di Cianjur terjadi pada hari Senin malam tanggal 19 September 2005. Kebetulan pada malam yang sama, sebagian ummat Islam sedang memperingati malam nisfu Sya’ban. Persitiwa tersebut terjadi sekitar pukul 19.30. Ratusan orang yang anonim menyerang empat cabang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kecamatan Cempaka dan Cibeber. Kempat cabang tersebut adalah Panyairan, Cicakra, Negalsari, dan Ciparay. Sejumlah mesjid, madrasah, dan beberapa rumah serta properti pribadi kaum Ahmadi menjadi sasaran dari penyerangan tersebut. Total kerugian ditaksir lebih dari Rp 100 juta. Polisi, seperti biasanya, datang terlambat dalam bertindak. Meski demikian, peristiwa tersebut akhirnya dapat diatasi. Puluhan orang diamankan karena tertangkap basah sedang melakukan penjarahan. 12 Orang dari mereka diajukan ke meja hijau, lalu diganjar hukuman. Masing-masing diantara mereka menerima hukuman berbeda-beda. Yang paling lama di antara mereka harus mendekam di penjara selama enam bulan (Pikiran Rakyat, 22 September 2006)
Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa penyerangan dan pengrusakan terhadap kaum Ahmadi, Wasidi mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) yang berisi pelarangan  kegiatan Ahmadiyah di Cianjur. Menurut Wasidi, SKB tersebut dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari MUI, Kodim 0608, DPRD, serta 40 organisasi massa Islam se-Cianjur. Wasidi lebih lanjut mengatakan bahwa SKB tersebut dikeluarkan sebagai usaha untuk menghindari terulangnya peristiwa kekerasan terhadap warga Jemaat Ahmadiyah. Menurutnya, pelarangan kegiatan diharapkan akan dapat meminimalisasi konflik yang mungkin akan terulang di kemudian hari (Kompas, 26 September 2006).
Keluarnya SKB pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Cianjur tentu saja mengundang tanggapan beragam. Pada satu sisi, kaum Ahmadi sendiri memandang SKB tersebut sebagai hak bupati. Pada sisi lain, mereka tidak hirau dengan SKB tersebut karena merasa keberadaan mereka sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dilindungi oleh perangkat hukum yang lebih tinggi statusnya, yaitu SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953 yang dikuatkan SK. Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Di tempat lain, MM Billah, seorang anggota Komnas HAM yang menangani kasus kekerasan Ahmadiyah di Cianjur, menegaskan kewajiban aparat negara dalam melindungi warga negara. Selain karena alasan kemanusiaan, konstitusi dan berbagai perangkat hukum di Indonesia telah menjamin kebebasan warga negara dalam menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing (Kompas, 26 September 2005)
Setelah keluarnya SKB pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Cianjur, keterlibatan Wasidi dalam isu Ahmadiyah menjadi hampir tidak bisa diabaikan. Pada saat yang sama, dia sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk maju kembali dalam Pilkada Cianjur 2006. Gerbang Marhamah kembali menjadi isu yang dikomodifikasi. Para pendukungnya memandang Wasidi telah berhasil membawa Cianjur menjadi lebih ‘Islami’, terlepas dari segala kekurangan yang masih ada. Dalam konteks ini, kaum Ahmadi dianggap sebagai sesuatu ‘yang lain’, yang mengganggu agenda besar ‘Islamisasi’ di Cianjur. Sebagaimana dikatakan oleh KH R Abdul Halim dan KH Abdul Qadir Razy, Ahmadiyah adalah ‘sesat dan menyesatkan’. Fatwa untuk hal tersebut telah ditegaskan, tidak hanya oleh MUI, tetapi juga Rabithah ‘Alam Islami yang berpusat di Jeddah dan oleh pemerintah Pakistan sendiri sebagai tempat kelahiran Ahmadiyah. Sebagai Ketua Umum MUI Cianjur, KH R Abdul Halim merasa berkewajiban untuk menjalankan fatwa MUI Pusatyang telah mengeluarkan dua kali fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah (Republika, 22 September 2005). Baginya, pilihan bagi kaum Ahmadi hanya dua, yaitu kembali kepada Islam atau secara tegas mengatakan bukan bagian dari Islam. Pilihan yang kedua menimpa Jemaat Ahmadiyah di Pakistan. Di sana mereka secara legal dikategorikan sebagai ‘minoritas non-Muslim’ (Wawancara dengan KH R Abdul Halim, 15 September 2006).
Sementara proses hukum terhadap kasus penyerangan terhadap kaum Ahmadi berlangsung, muncul kelompok yang mengaku bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut. Mereka menamakan dirinya sebagai Garis (Gerakan Reformis Islam). Melalui ketuanya, H Chep Hernawan, Garis secara terbuka menyatakan siap menghadapai proses hukum bila memang mereka terbukti bersalah. Akan tetapi, pada saat yang sama, Garis menyalahkan pemerintah dan MUI karena membiarkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. H Chep Hernawan yang dikenal dekat dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tersebut menyatakan bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran Islam sehingga patut untuk diingatkan. Selain itu, kaum Ahmadi dianggap ekslusif sehingga memancing masyarakat sekitar untuk bertindak anarkis (Media Indonesia, 22 September 2006; Republika, 23 September 2006).  
Kedekatan H Chep Gunawan dengan Abu Bakar Baasyir merupakan satu petunjuk yang bisa menempatkan kasus penyerangan Ahmadiyah di Cianjur ke dalam konteks yang lebih luas. Akan tetapi, bukan semata kedekatan pribadi yang menjadi perhatian di sini, melainkan kedekatan ideologis yang justru menjadi dasar dari apa yang disebut Martin van Brunessen (1999) sebagai konvergensi dari perkembangan Islam di Indonesia dengan apa yang terjadi di tingkat global. Latar ideologis yang mendasari aksi-aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah berakar dari radikalisasi pemahaman keagamaan yang merupakan fenomena umum di banyak negara-negara muslim. Di Indonesia, radikalisasi tersebut menemukan tempatnya di tengah transisi politik yang mengiringi jatuhnya rezim Orde Baru. Apalagi setelah peristiwa WTC/11 September 2001, radikaliasi di kalangan sebagian muslim benar-benar dieksploitasi oleh media dengan bentuk-bentuk representasi yang tidak seimbang. Akibatnya, fenomena kekerasaan menjadi penanda yang melekat dalam dinamika Islam politik.
Di sisi lain, menghadapi kekerasan yang menimpa kaumnya, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cianjur menyerahkan segala sesuatunya pada aturan hukum yang berlaku. Secara normatif, mereka menganggap apa yang menimpa dirinya sebagai ujian dari Allah. Mereka merasa yakin terhadap balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang berbuat aniaya terhadap sesamanya. Secara hukum, pengurus JAI menunjuk pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cianjur sebagai kuasa yang akan mendampingi mereka dalam proses peradilan. Pada tingkat akar rumput, beberapa tokoh Ahmadi mengatakan telah memaafkan orang-orang yang mengaku ikut-ikutan dalam peristiwa penyerangan terhadap kaum Ahmadi. Seorang tokoh Ahmadi menilai bahwa penyebab dari kekerasan yang menimpa kaum Ahmadi sebagian besar berasal dari kekuatan-kekuatan luar. Dia tidak mengerti bagaimana kekuatan-kekuatan luar itu bekerja, tetapi pastilah kekuatan-kekuatan tersebut melibatkan kepentingan-kepentingan tertentu (Wawancara dengan Ahmad Mulyadi, 16 September 2006)
Sementara rekonsiliasi pada tingkatan kultural berlangsung, isu tentang Ahmadiyah ternyata surut dari perbincangan publik seiring kekalahan Wasidi dalam Pilkada Cianjur 2006. Kekalahannya yang cukup dramatis dari Tjetjep Muchtar Soleh seolah menutup peran Wasidi dalam permasalahan Ahmadiyah di Cianjur. Bersamaaan dengan itu, Gerbang Marhamah seolah kehilangan tempat di tengah masyarakat yang terkejut dengan beredarnya VCD porno yang melibatkan guru dan beberapa murid SMAN 2 Cianjur. Kasus ini sempat menjadi isu dalam media nasional (Gatra, No.3, 28 November 2005). Akibatnya, representasi Cianjur sebagai kota Gerbang Marhamah dipertaruhkan. Di sisi lain, kalangan seniman kemudian merasa bernafas lega. Segera setelah kekalahan Wasidi yang dramatis, kesenian kuda kosong kembali diperbolehkan untuk dipertunjukan. Seorang tokoh seniman  berkata, ‘Inilah akibat dari orang yang tidak menghargai tradisi dan kebebasan beragama, dia pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa kedua hal tersebut adalah keniscayaan dalam masyarakat Cianjur, dan juga Indonesia, yang plural.’(Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006).

Kesimpulan
Dinamika Islam politik dan pengaruhnya terhadap keberadaan kaum Ahmadi di Cianjur merupakan fenomena Indonesia pasca Orde Baru yang sedang berubah. Politik identitas kembali dikontestasikan dalam jumlah dan cakupan yang tidak terkirakan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan tentang relasi agama dan negara kembali menjadi isu publik. Beberapa kalangan bahkan mencoba membangkitkan kembali wacana lama tentang Piagam Jakarta. Sementara itu, kondisi ekonomi riil yang tak kunjung membaik telah menurunkan harapan sebagian orang terhadap janji-janji perubahaan yang diusung oleh gerakan ‘reformasi’. Dalam konteks ini, keberbedaan (difference) dipandang sebagai sesuatu yang mengancam. Apa yang berbeda dari mainstream dipandang harus dibungkam.
Pada tingkat akar rumput, transisi politik Indonesia pasca Orde Baru ternyata harus dibayar mahal dengan konflik-konflik horizontal yang sering berujung pada kekerasan. Tulisan ini telah menjelaskan bagaimana kaum Ahmadi di Cianjur harus menghadapi perubahan pasca Orde Baru dengan pandangan yang suram. Keberadaan mereka ditolak oleh sebagian ummat Islam dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Akar dari penolakan terhadap keberadaan kaum Ahmadi bersifat kompleks, tidak hanya karena perbedaan pemahaman keagamaan, tetapi juga kepentingan-kepentingan dalam perubahan relasi-relasi kekuasan. Dalam kondisi transisi politik pasca Orde Baru seperti ini, sering muncul apa yang oleh Robert R. Hefner (2001) disebut sebagai kelompok-kelompok kepentingan yang bergerak di antara negara dan masyarakat. Mereka memanfaatkan momen-momen politik untuk kepentingan tertentu. Kelompok-kolompok ini masuk ke dalam konflik-konflik horizontal, berperan secara ambigu sebagai protagonis atau antagonis, atau dua-duanya sekaligus. Mereka sering menggunakan isu agama dan politik identitas sebagai komoditas.
Terakhir, tulisan ini merekomendasikan penelitian lebih lanjut tentang wacana Orde Baru. Lebih dari periode kekuasaan politik sebelumnya, Orde Baru telah mewariskan sejumlah problem kebudayaan yang jejaknya masih krusial sampai sekarang. Dalam kaitan ini, Robert Hefner (2001) berpendapat bahwa pluralisme yang menjadi fakta di Indonesia harus dipahami dalam konteks multikultural. Perbedaan paham keagamaan dalam Islam dan juga agama-agama lain harus ditempatkan dalam sebuah konsensus kewarganegaraan (citizenship). Selama masa Orde Baru, relasi antar kelompok, bahkan definisi-diri tentang kelompok tersebut, sebagian besar disusun dalam rangka proyek politik kekuasaan. Oleh karena itu, ketika penopang dari wacana tersebut telah berubah, masyarakat Indonesia tampak kebingungan untuk merumuskan identitas dirinya.[]

Daftar Pustaka
Buku dan Artikel

Alfian, 1989, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Turmudzi, Endang, “Gerbang Marhamah: Langkah Penerapan Syariat Islam di Cianjur,” dalam Pengaruh Modernitas Terhadap Sikap Keberagaman Masyarakat: Penerapan dan Diskursus Politik Syariat Islam (Studi Kasus di Cianjur, Sulawesi Selatan, dan Jombang) (Ed. Endang Turmudzi, Asfar Marzuki, dan Marzani Anwar), Jakarta: PMB-LIPI
Fealy, Greg, 2003, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967, LKiS, Yogyakarta,
Federspiel, Howard, 1996, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam di Indonesia Abad XX, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
——-, 2004, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957, Jakarta: Serambi
Hefner, Robert R, 2001a, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI dan TAF
——-, 2001b, “Introduction: Multiculturalism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia,” dalam Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia (Ed. Robert R. Hefner), Honolulu: University of Hawai’i Press
Noer, Deliar, 1996, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan kedelapan, Jakarta: LP3ES
van Bruinessen, Martin, ”Global and Local in Indonesian Islam”, Southeast Asian Studies (Kyoto), Vol. 37, No. 2 (1999)



Koran dan Majalah
Gatra, No. 3/28 November 2005
Kompas, 26 September 2006
Media Indonesia, 22 September 2005
Media Indonesia, 26 September 2005
Pikiran Rakyat, 22 September 2006
Republika, 22 September 2005
Republika, 23 September 2005
Republika, 14 Nopember 2005

Wawancara
Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006, di Cianjur.
Wawancara dengan Ahmad Mulyadi, 16 September 2006, di Cianjur
Wawancara dengan KH R Abdul Halim, 15 September 2006, di Cianjur

Retrieved from: http://penelitianku.wordpress.com/2008/10/21/dinamika-islam-politik-pasca-orde-barudan-jemaat-ahmadiyah-indonesia-jai-di-cianjur-jawa-barat/

No comments:

Post a Comment